Mayoritas orang Batak pasti pernah mendengar kalau nenek moyang mereka diturunkan di Pusuk Buhit oleh Mulajadi Nabolon. Secara sederhana, Mulajadi na Bolon bisa diartikan sebagai dewa (debata) tertinggi yang menguasai tiga tingkat dunia. Bahkan sampai saat ini, ritual pemujaan terhadap Mulajadi na Bolon masih bisa kita temui dalam tradisi penganut kepercayaan Parmalim yang berpusat di Laguboti Kabupaten Toba Samosir. Saya sendiri sudah tiga kali menjelajah Pusuk Buhit dan sekitarnya. Tapi pengalaman paling menarik dan berkesan tentu saja saat pertama kali mendaki diawal tahun 2016, hanya berdua bersama teman.
Laju sepeda motor
dipacu melintasi jalur pegunungan Tanah Karo yang berkelok dengan kadar dingin
yang sungguh aduhai. Kawasan paling
seram tentu saja saat memasuki Merek-Sidikalang. Jalanan tanpa lampu penerang,
hutan di kiri kanan dan kabut tebal begitu setia menemani. Apalagi melintasi
jalan lurus lau pondom yang berhutan lebat. Seketika isi kepala memaksa mulut
untuk berkata “semoga tak mogok atau
bocor ban”.
Esok pagi kami mulai
berkemas, dan bersiap mendaki Gunung Pusuk Buhit. Sebelum mendaki, tentu saja terlebih
dulu mengunjungi berbagai tempat-tempat bersejarah disekitar kaki gunung. Sebut
saja, Batu Hobon, Pemandian Aek Rangat, Parsaktian Raja Batak, Aek Sipitu Dai,
dan Perkampungan awal siraja batak. Semua kawasan-kawasan penuh sejarah ini memang
telah dikelola oleh pemerintah Kabupaten Samosir, hanya jika dikaji secara nilai
ekonomis, kemasan wisata sejarah ini belum mampu berbicara banyak.
Batu Hobon |
Parsaktian Raja Batak |
Pendakian ke Puncak
Pusuk Buhit dimulai melalui Desa Huta Ginjang, Kecamatan Sianjur mula-mula. Ada
beberapa rute yang bisa dipilih untuk mendaki puncak Pusuk Buhit. Pertama,
melalui jalur cepat, yakni rute yang sudah disiapkan oleh warga sekitar. Kedua,
rute melalui pemandian aek rangat di Kota panggururan. Kami sengaja memilih rute
ketiga, yakni melalui Desa Huta Ginjang. Alasannya karena jalur trekking lebih ‘terasa’ dan relatif aman
menitipkan sepeda motor di rumah warga (sekaligus lebih bersosialisasi). Dari
pintu rimba Desa Huta Ginjang, waktu menujukan sekitar pukul 15.00 WIB.
Berjalan menuju Pusuk
Buhit sedikit berbeda dengan mendaki gunung lain. Hal ini barangkali disebabkan
puncak Pusuk Buhit yang bisa dilihat sepanjang mata menapakkan kaki dijalur
pendakian. Situasi demikian membuat pendaki sedikit sepele dengan mengatakan “ah dekat kok”. Ternyata tidak, semakin
berjalan mendekat, puncak terasa semakin menjauh. Rupanya puncak Pusuk Buhit kelihatan
dekat karena dipandang dari kejauhan. Sebelum sampai di puncak perbukitan, kami
memutuskan untuk istrahat sejenak dibawah pohon pinus yang berdiri gagah. Kompor
dikeluarkan, semua kebutuhan logistik kami siapkan untuk santap sore mengisi
perut yang kosong. Maklum, jalurnya sejak “intro” sudah mendaki plus ditambah
hujan gerimis dan tiupan angin membuat perut cepat terasa lapar.
Usai makan, kami
kembali mendaki dan berhasil melalui puncak perbukitan pertama. Saya sempat
mengira ini adalah puncak pusuk buhit, ternyata bukan. Dari jalan yang mendatar
itu kami kembali menuruni sedikit lereng dan bersiap mendaki puncak berikutnya.
Ya, tidak salah lagi, itulah puncak Pusuk Buhit sesungguhnya. Tepat dilokasi
jalan relatif datar, banyak ditemui batu-batu keramat yang diatasnya diletakkan
sesaji berupa telur, jeruk purut, bunga, rokok dll. Bahkan para
petinggi-petinggi negri dan orang batak yang sudah sukses di perantauan sekali
waktu masih menyempatkan diri berjiarah kesini. Jangan heran, ada Helipad di
Pusuk Buhit.
Entah atas motif apa, kami
mencoba mencari jalur baru (pintas) untuk menuju puncak. Niat hati cuma ingin
anti mainstream. Dalam perjalanan kami menemukan sebuah batu yang diatasnya
tergeletak 3 buah jeruk. Terjadi dialog singkat antara kami berdua:
Teman:
“mau jeruk bang?” (sambil mengambil
jeruk)
Saya:
“Ngak ah”
Teman:
“kata orang kalo ada jeruk artinya rejeki”
Saya:
“yaudah, terserah sih, ambil aja. Yang penting
kan niatnya gak macam-macam bang, tapi aku ngak mau ngambil”
Teman:
“ah, jadi ragu aku bang” (jeruk
kembali diletak kan di tempat semula)
Pasca
dialog, kami kembali berjalan dengan fokus perhatian utama adalah puncak Pusuk
Buhit tepat didepan. Apes, jalur yang dilalui berulang kali buntu. Bahkan ilalang
yang tumbuh teramat lebat menyulitkan untuk sekedar berjalan normal. Kondisi jalan
perlahan lahan semakin terjal, sedangkan kami berada ditengah ilalang yang
tumbuh liar. Lebih parah, kabut tebal turun menyelimuti Gunung Pusuk Buhit,
otomatis jarak pandang semakin tipis. Sekitar dua jam kami berkeliling ria
dihamparan ilalang. Langit sudah mulai gelap, diskusi diantara kami akhirnya
menemukan titik temu, “kembali mundur
kerute awal” Ya, meskipun diselingi nada bercanda, sebab katanya mundur
adalah pengkhianatan, hahaha..
Bermodal memanjat batu
demi melihat jalan datar (rute awal sebelum tersesat), menembus ilalang dan
jalan terjal, senjata terakhir yang dipergunakan adalah berserah diri dan mempertajam
feeling. Akhirnya entah bagaimana, kami kembali ketempat batu yang diatasnya tergeletak
3 jeruk tadi. Alhamdulillah, Dalam hati saya spontan mengucap asalamualaikum,
sejurus kemudian kami kembali melalui jalur normal para pendaki pada umumnya. Hari
sudah gelap, di spot yang datar, kami mendirikan tenda, memasak, mengisi perut,
menghisap rokok hero yang sungguh di medan tak pernah saya hisap.
Berhubung, suasana saat
itu masih dalam rangka tahun baru, cukup banyak tenda-tenda berdiri di spot
tersebut. Gelak tawa, suara gitar bahkan Mp3 lagu india terdengar mengalun dari
tenda sebelah. Dalam percakapan sebelum istrahat, kami berharap semoga dengan
mulai ramai nya manusia mendaki kemari, tidak lantas menghilangkan nuansa sakral
dan nilai sejarah gunung ini. Bahwa mendaki Pusuk Buhit bukan sekedar berselfie
dengan latar Danau Toba
Pusuk Buhit, Mendaki Gunung Kramat Orang Batak
Reviewed by Amin Multazam
on
11:16 PM
Rating:

Gunung Pusuk Buhit merupakan kediaman si Raja Batak, nenek moyang suku Batak
ReplyDelete